
Labuh Sesaji
 Tulungagung
Asal-Usul
Sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha di Jawa, seperti Mataram Kuno, Singhasari, dan Majapahit, tradisi larung sesaji telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat. Dipengaruhi oleh paham animisme dan dinamisme yang meyakini adanya roh-roh gaib yang menguasai alam, salah satu roh yang sangat dikenal adalah Ratu Laut Selatan, yang juga disebut Nyai Roro Kidul. Dalam mitologi Jawa, Ratu Laut Selatan dianggap sebagai istri para raja Mataram, mulai dari Panembahan Senopati hingga Sultan Agung, yang menjalin perjanjian mistis dengan mereka, menawarkan kekuasaan dan kemakmuran sebagai imbalan atas pengabdian mereka kepadanya.
Keterkaitan antara Ratu Laut Selatan dan raja-raja Mataram tercermin dalam Babad Tanah Jawi, sebuah perjanjian mistis yang mengatur hubungan antara keduanya. Menurut kepercayaan tersebut, Ratu Laut Selatan memberikan perlindungan kepada masyarakat pesisir Jawa, khususnya para nelayan, sementara raja-raja Mataram mengabdi kepadanya sebagai suami. Namun, meskipun memberikan perlindungan, Ratu Laut Selatan juga dikenal memiliki sifat yang angkuh dan pemarah. Dia tidak mentolerir pelanggaran terhadap larangan-larangan yang telah ditetapkan, seperti penggunaan pakaian berwarna hijau atau kuning di pantai selatan Jawa, atau penolakan terhadap ajakan menjadi suami atau istri.
Untuk menjaga hubungan harmonis dengan Ratu Laut Selatan, masyarakat Jawa melaksanakan larung sesaji sebagai tanda penghormatan dan permohonan. Tradisi ini sering dilakukan pada hari-hari tertentu dalam kalender Jawa, seperti 1 Suro, Ruwah, atau Purnama, dan juga dapat dipicu oleh kejadian-kejadian alam atau aneh di laut. Melalui larung sesaji, masyarakat mengungkapkan rasa ketergantungan mereka pada Ratu Laut Selatan, memohon perlindungan, serta menegaskan komitmen mereka untuk mematuhi aturan yang telah ditetapkan demi menjaga kedamaian laut dan hubungan baik dengan roh tersebut.