
Keduk Beji
 Ngawi
Asal-Usul
Sendang Beji dipercaya sebagai tempat yang sakral oleh masyarakat setempat. Sumber air dari Sendang Beji digunakan untuk memasok air ke kolam renang di area wisata Tawun dan juga untuk mengairi lahan pertanian penduduk. Di dekat Sendang Beji terdapat makam leluhur dari Desa Tawun. Masyarakat desa Tawun meyakini bahwa Sendang Tawun memiliki kekuatan mistis yang sangat kuat, sehingga tempat tersebut dianggap keramat. Oleh karena itu, perlu dilakukan penghormatan khusus untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Secara umum, ritual ini dimulai dengan kegiatan pengedukan atau pembersihan sendang. Setelah itu, dilanjutkan dengan penyilepan, di mana juru kunci menyelam ke dalam sendang untuk meletakkan kendi di dasar sendang dan mengambil kendi yang telah ditaruhnya setahun sebelumnya. Ritual ini diakhiri dengan pertunjukan Tari Kecetan dan kenduri (selamatan).
Menurut legenda, pada abad ke-15 di daerah Padas (sekarang dikenal sebagai Kasreman), seorang pengembara bernama Ki Ageng Metawun menemukan sendang tersebut. Ki Ageng Metawun memiliki dua putra, yaitu Seconegoro yang menjadi senopati Mataram dan Ludrojoyo yang tinggal di desa dan peduli dengan nasib petani yang kesulitan air karena sendang berada di lokasi yang lebih rendah. Pada suatu Kamis Kliwon, Raden Ludrojoyo melakukan tapa matirto, sebuah bentuk pertapaan dengan merendam diri dalam air (topo kungkum) di sendang. Namun, pada tengah malam, terjadi suasana yang menyeramkan ketika cahaya bulan tertutup awan tebal dan terdengar suara ledakan yang sangat keras. Warga desa segera berkerumun menuju sumber ledakan yang diduga berasal dari Sendang Beji. Raden Ludrojoyo menghilang, dan lokasi sendang berpindah dari tempat asalnya ke sebelah utara yang lebih tinggi dari sawah penduduk. Meski air sendang telah dikuras habis, Raden Ludrojoyo tetap tidak ditemukan. Untuk mengenang peristiwa tersebut, warga mengadakan tradisi Keduk Beji sebagai bentuk penghargaan atas pengorbanan Raden Ludrojoyo.
Pelaksanaan
Tata urutan Keduk Beji berlangsung selama lima hari, dimulai dari Kamis Kliwon hingga Selasa Kliwon, setiap pukul 15.00 WIB hingga selesai, dengan acara pertama berupa selamatan panggang tumpeng di kediaman para keturunan asli Tawun. Pada hari Jumat Legi, diadakan selamatan bersama yang melibatkan seluruh masyarakat dari empat dukuh, berkumpul di Sarehan Sentono pada pukul 14.00 WIB. Keesokan harinya, Sabtu Pahing, diadakan acara gugur gunung, di mana warga bergotong royong membersihkan lingkungan desa. Pada Minggu Pon tidak ada kegiatan khusus. Baru pada Senin Wage, warga membuat gunungan di halaman Sumber Beji dan menghias pendopo Sumber Beji dengan janur. Pada pukul 17.00 WIB, juru silem memulai mandi bersama dengan warga serta kepala desa beserta stafnya, yang berlangsung hingga malam Rabu Legi dan terbuka untuk umum.
Pada Selasa Kliwon dini hari, acara selamatan dimulai. Pukul 05.00 WIB, sesaji dari rumah Kepala Desa dibawa ke Sumber Beji bersama kambing kendit. Kambing tersebut kemudian dimandikan, disembelih, dikuliti, dan dipanggang. Puncak acara dimulai pukul 09.00 WIB, di mana masyarakat berbondong-bondong melaksanakan bersih desa di sekitar Sendang Beji dan lingkungan objek wisata Tawun. Acara dilanjutkan dengan pengedukan atau pembersihan Sendang Beji.
Ritual ini diawali dengan mandi lumpur dan pembersihan kotoran di sendang. Para pemuda terjun ke dalam air untuk mengambil sampah dan daun-daun yang mengotori kolam. Pada pukul 24.00 WIB, ritual dilanjutkan dengan penyilepan. Juru kunci atau silem, yang dipilih dari keturunan sesepuh Desa Tawun, mengambil peran utama dalam ritual ini. Konon, orang asing yang ikut menyelam tidak akan bisa keluar dari dasar sendang. Sebelum menyilem atau menyelam ke dasar sendang, juru kunci dirias. Tubuhnya dilumuri bedak, diberi penanda janur di lengan dan kepala, serta mengenakan pakaian kebesaran. Setelah membakar dupa dan membaca mantra tertentu, dilakukan mbukak sumber, yaitu juru kunci diiringi warga menyelam selama beberapa menit ke dasar sendang Tawun. Dalam penyilepan ini, juru kunci memasukkan sesaji berupa air badheg (air tape ketan) yang dianggap sebagai air suci ke dalam kendi kecil dan meletakkannya di pusat sumber dalam sebuah gua. Inilah inti dari ritual Keduk Beji.
Setelah acara penyilepan selesai, warga desa dihibur dengan tarian Langen Bekso (Gambyong) diiringi gamelan. Saat itu, juru kunci bertugas mengecek apakah air di sumber sudah jernih atau masih keruh. Keesokan harinya, pada hari Rabu Legi, diadakan pertunjukan tari Kecetan atau cambuk berdarah (Ujung). Acara dilanjutkan dengan makan bersama Gunungan Lanang dan Gunungan Wadon untuk ngalub (meraih) berkah. Warga saling berebut makanan yang dipercaya bisa mendatangkan berkah dan keberuntungan bagi kehidupan mereka. Acara ditutup dengan pertunjukan tari Langen Bekso yang diselenggarakan di kediaman Kepala Desa, di mana seluruh warga datang untuk memeriahkan acara tersebut.
Makna
Ritual Keduk Beji di Desa Tawun memiliki signifikansi dalam menyatukan masyarakat serta membangun hubungan solidaritas antara warga dan pemerintah lokal. Ritual ini merupakan ungkapan rasa syukur atas berkah yang diberikan oleh sumber air, dilakukan melalui pembersihan kolam dan penyelenggaraan sesaji. Selain itu, ritual ini juga memiliki nilai edukatif, seperti nilai moral, adat istiadat, dan sejarah. Salah satu aspek menariknya adalah penggantian air di sumur oleh penyilem yang secara tidak langsung menjaga kebersihan air dan mengajarkan tentang pentingnya kebersihan lingkungan serta kepatuhan terhadap tradisi dan leluhur.